SELAYAR, Quarta.id- Karakteristik daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) memiliki kompleksitasnya sendiri dalam berbagai aspek, termasuk dalam mendorong masyarakat yang berdaya secara ekonomi dan adaptif terhadap perubahan.
Bank Dunia mendefenisikan masyarakat melek ekonomi sebagai masyarakat yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan ekonomi yang tepat dan efektif dalam mengelola keuangan mereka sendiri.
Dikutip dari itbwigalumajang.ac.id, organisasi OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengungkapkan adaptif ekonomi sebagai kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan ekonomi dan memanfaatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Dalam konteks ini, teknologi informasi dan komunikasi terbukti memberi penguatan melalui perubahan lanskap ekonomi secara besar-besaran, tidak hanya dalam skala makro, tetapi juga pada level mikro.
Salah satunya adalah transaksi keuangan yang dalam perjalanannya, kemudian serba terdigitalisasi. Penggunaan uang digital menjadi hal yang jamak, seiring pertumbuhan penggunaan perangkat teknologi informasi.
Meski demikian, dalam upaya mendorong masyarakat melek ekonomi, tidak semata dilihat dari kecakapan memanfaatkan digitalisasi transaksi.
Lebih dari itu, masyarakat harus didorong untuk cerdas secara finansial, memiliki pemahaman yang komprehensif terkait isu-isu ekonomi seperti suku bunga, nilai tukar, inflasi, hingga investasi dan layanan keuangan lainnya.
Artinya, perlu adanya dorongan literasi yang terstruktur dan simultan dari berbagai pemangku kepentingan.
Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral di Indonesia yang memiliki fungsi strategis menjaga stabilitas nilai rupiah, mengendalikan inflasi, menetapkan suku bunga acuan, serta menjaga kelancaran sistem pembayaran nasional, pada akhirnya dituntut extra effort membangun literasi keuangan dan ekonomi secara massif.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Agustus 2024 lalu telah merilis hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) untuk mengukur indeks literasi dan inklusi keuangan penduduk Indonesia sebagai landasan program peningkatan literasi dan inklusi keuangan ke depan.
Dikutip dari ojk.go.id, hasil SNLIK tahun 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43 persen, sementara indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen.
SNLIK tahun 2024 juga mengukur tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah. Hasil yang diperoleh menunjukkan indeks literasi keuangan syariah penduduk Indonesia sebesar 39,11 persen. Adapun, indeks inklusi keuangan syariah sebesar 12,88 persen.
Meskipun terdapat peningkatan indeks inklusi dan literasi keuangan dari tahun sebelumnya, perbedaan antara skor inklusi dan literasi keuangan, tetap harus dilihat sebagai sebuan problem.
Data dimaksud menunjukkan kondisi dimana terdapat masyarakat yang memiliki akses layanan keuangan namun belum memperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap manfaat, risiko, serta dampak jangka panjangnya.
Hal ini berpeluang memicu meningkatnya ketergantungan pada pinjaman bersifat konsumtif, praktik paylater tanpa perencanaan, serta rIsiko sosial dari investasi bodong.
Literasi Keuangan Bank Indonesia di Kepulauan Selayar
Pada skop Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, upaya Bank Indonesia dalam mendorong literasi keuangan dan masyarakat melek ekonomi, telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir.
Upaya terstruktur, salah satunya melalui Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD), dimana Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai salah satu stakeholder.
Kehadiran TP2DD sendiiri, bertujuan mendorong digitalisasi pada berbagai sektor, terutama pada pelayanan publik dan birokrasi.
Elektronfikasi pada lingkup birokrasi pada akhirnya diharapkan memberi penguatan pada upaya memaksimalkan potensi dan sumber daya untuk tetap bisa menghadirkan program yang produktif dan berorientasi pada kepentingan publik.
“Eelektronifikasi salah satunya bertujuan memaksimalkan pendapatan dari pajak dan retribusi, dimana igitalisasi akan meminimalkan potensi loss pada proses penerimaan pajak retribusi tersebut,” ungkap Deputi Kepala Perwakilan BI Sulsel, Ricky Satria saat diwawancarai Quarta.id di Kepulauan Selayar, Maret 2025.
Digitalisasi menurut Ricky, juga akan memudahkan pemerintah daerah dalam pelayanan, rekapitulasi penerimaan secara presisi serta pemetaan potensi pendapatan yang baru.
Bank Indonesia pada beberapa momen di Kepulauan Selayar, juga terus mendorong literasi keuangan demi mewujudkan masyarakat melek ekonomi. Salah satu yang menjadi concern adalah penguatan pada pemanfaatan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS)
Bank Indonesia (BI) Wilayah Sulawesi Selatan hadir di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan pada 11 hinggga 12 Juni 2024 dengan beberapa agenda.
Salah satu diantaranya melakukakn High Level Meeting dengan pemangku kepentingan di Kepulauan Selayar, terdiri dari Kepala Unit Kerja dan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
High Level Meeting ini bertujuan mendorong dan melakukan evaluasi terhadap penerapan Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) di Kepulauan Selayar.
ETPD menjadi salah satu instrumen dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Sementara itu, pada Rabu (12/6/2024) Bank Indonesia Wilayah Sulsel melakukan pertemuan dengan sejumlah elemen, diantaranya organisasi perempuan dan ASN yang bersentuhan langsung dengan aktivitas transaksi keuangan.
Pada kesempatan tersebut, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesi Sulsel, Ricky Satria menyampaikan tren pergeseran transaksi keuangan dari tradisional menuju digital atau cashless yang saat ini menjadi keniscayaan.
“Transaksi Digital adalah tuntutan zaman yang harus kita tangkap sebagai konsekuensi dari kemajuan peradaban,” ucapnya pada acara yang berlangsung di ruang Ruang Pola Kantor Bupati Kepulauan Selayar.
Transaksi digital menurut RIcky akan memberi dampak positif pada aktivitas individu, baik pada level rumah tangga hingga bisnis skala Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM).
“Digitalisasi memberi peluang untuk individu dan pelaku bisnis UMKM melakukan perekaman aktivitas transaksi keuangan, sehingga manajemen keuangan bisa lebih rapi dan mendukung kemajuan usaha,” ucap Ricky.
Meski demikian, digitilasi dalam aktivitas transaksi masyarakat dinilai Ricky bukan tanpa resiko. Olehnya itu literasi digital dan penguatan sistem untuk perlindungan konsumen harus tetap didorong.
“BI dalam hal ini bertugas menyiapkan sistem transaksinya, kami berharap pemerintah dan komponen lain bisa berkolaborasi mendorong ekosistemnya dengan penguatan infrastruktur dan literasi digital,” kata Ricky seusai acara kepada Quarta.id.
Ricky juga memberikan pemaparan terkait beberapa fenomena sosial yang menjadi turunan dan kemajuan teknologi informasi saat ini.
“Pinjol (pinjaman online) misalnya, membutuhkan literasi dan kecerdasan berdigital masyarakat. Filterisasi penting agar bisa mengetahui aspek keamanan dari pinjol, termasuk manajemen diri membedakan antara keinginan dan kebutuhan,” lanjuutnya.
“BI terus hadir untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam membangun ekosisitem digital dalam berbagai aspek aktivtas, mulai pelayanan publik, bisnis dan individu,” imbuh Ricky kala itu.
Tantangan Elektronifikasi dan Dorongan Masyarakat Melek Ekonomi pada Daerah 3T
Sebagai daerah dengan kategori 3T, Kepulauan Selayar memiliki sejumlah tantangan dalam mewujudkan smart citizen sebagai salah satu prasyarat menuju masyarakat melek ekonomi, infrastruktur digital salah satunya.
Data dari Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian menyebutkan belum adanya pemerataan dalam hal akses internet pada seluruh wilayah Kepulauan Selayar.
Per 2024, dari 363 dusun/lingkungan di 88 desa/kelurahan, 36,088 persen atau 131 dusun/lingkungan masuk kategori sinyal kuat, 52,066 persen atau 189 dusun/lingkungan sinyal lemah, dan 12,948 persen atau 47 dusun/lingkungan masuk pada kategori blind spot.
Kendala digital gap juga berkaitan dengan kecakapan dalam memanfaatkan teknologi informasi yang belum merata pada seluruh tingkatan usia.
Belum lagi, ketika berbicara terkait digital culture dalam konteks transaksi keuangan dan ekonomi.
Pada High Level Meeting (HLM) Bank Indonesia dan sejumlah stakeholder di Kepulauan Selayar pada Maret 2025 lalu, Pimpinan Bank Sulselbar Cabang Selayar, Muhammad Nasrum menyampaikan persentase penggunaan QRIS pada kalangan ASN yang masih berada di bawah kisaran 10 %.
Sementara itu, dari 3019 ASN di Kepulauan Selayar, hanya 1884 diantaranya yang aktif menggunakan fasilitas mobile banking.
“Fenomena ini menunjukkan perlunya terus mendorong habit digital, terutama pada kalangan ASN yang kita harapkan jadi ambbasador masyarakat melek digital dan ekonomi,” ucap Muh. Nasrum kala itu.
Pemerintah Kepulauan Selayar telah sejumlah langkah strategis seperti pemerataan fasilitas internet, capacity building, optimalisasi kanal digital, dan mendorong para ASN menjadi pelopor budaya berdigital.
“Di level birokrasi, kita juga akan terus mendorong penetrasi Kartu Kredit Pemerintah (KKP), dimana saat ini, baru satu unit kerja (BPKPD) yang telah mengimplementasikan KKP,” kata Wakil Bupati Kepulauan Selayar, Muhtar pada acara yang sama.
Sementara itu, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulsel, Ricky Satria pada kesempatan itu menyampaikan dukungan BI terhadap segala aspek dalam mendukung elektronifikasi di Kepulauan Selayar dan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.