Home PEOPLE

(OPINI) Salah Kaprah Soal Sampah

Ahmad Riadi
Ahmad Riyadi, Penggiat Selayar Bebas Sampah Plastik (SBSP)
Ahmad Riyadi, Penggiat Selayar Bebas Sampah Plastik (SBSP)

Selama cara pandang kita tentang sampah masih salah, maka kita akan terus-terusan berada dalam pusaran persoalan sampah.

Inspeksi mendadak (Sidak) Bupati Kepulauan Selayar pada Tempat Penampungan Sampah (TPS) illegal pada ruas Jalan Abdul Kadir Kasim, Minggu (6/4/2025), menjadi pembuktian betapa kita tidak pernah benar-benar selesai dengan masalah sampah.

Padahal, TPS ilegal sebenarnya tidak hanya terdapat di Jalan Abdul Kadir Kasim yang menghubungkan Kota Benteng dan Matalalang.

Pasca aksi turun tangan Bupati Kepulauan Selayar viral, satu persatu laporan warga pada berbagai kanal, bermunculan mengungkap masalah yang sama.

Ada TPS illegal pada akses menuju Kantor BLK, pada jalan tani di Dusun Sariahang, Pertigaan Jalan Abdul Kadir menuju Tabang, TPS ilegal di Tanjung Merayu dan mungkin masih banyak lagi.

Jadi, sebenarnya kita tak perlu berbangga diri ketika TPS ilegal pada ruas jalan Abdul Kadir Kasim yang bertahun-tahun mengganggu pemandangan, akhirnya bisa diselesaikan.

Lalu, apa yang salah dari sengkarut persoalan sampah yang tiba-tiba mengemuka akhir-akhir ini?

Kurang lebih lima tahun kami aktif pada gerakan sosial Selayar Bebas Sampah Plastik (SBSP), cukup memberi gambaran terkait masalah sampah dalam berbagai perspektif.

Sampah setidaknya berkaitan dengan tiga pendekatan. Diantaranya adalah kesadaran (awareness), infrastruktur dan kebijakan. Kebijakan dalam artian regulasi dan tata kelola sampah.

Dan yang kami lihat, sejauh ini kita masih gagap menerjemahkan ketiga komponen tersebut dalam sebuah sistem yang interkoneksi.

Kesadaran yang relatif masih rendah, berjalin kelindang dengan infrastruktur serta tata kelola sampah yang masih serampangan. Sesuatu yang sebenarnya juga jamak terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia.

Daerah-daerah yang disebut sebagai portofolio tata kelola sampah yang baik seperti Kabupaten Banyumas, sejatinya masih memiliki sejumlah celah yang perlu terus dkritisi.

Dalam konteks Kabupaten Kepulauan Selayar, darimana persoalan ini harus diurai ?

Mari kita bicara tentang sampah domestik saja, diluar sampah mengapung (kiriman) yang menjadi siklus periodik setiap munson barat. Sampah domestik relatif bisa kita kendalikan dari sumber hingga ke hilir.

Yang paling pertama harus dibangun adalah paradigma (mindset) semua eleman, dari individu, pelaku usaha, hingga pemangku kepentingan.

Ketika sampah hanya dilihat dari aspek estetika (kebersihan) semata, maka dari sinilah pangkal masalahnya berawal.

Masalah kebersihan, sejauh ini lebih banyak didekati dengan aksi seperti bersih-bersih, kerja bakti, jum’at bersih dan sejenisnya.

Kegiatan sejenis ini sejatinya bersifat sangat normatif dan hanya menyelesaikan masalah pada tingkat permukaan.

Sampah adalah sumber polutan yang mencemari lingkungan, dimanapun keberadaannya.

Di dalam tanah, sampah, terutama non-organik akan merusak struktur tanah dan menjadikan tanah tak lagi menjadi media tumbuh yang ideal.

Di perairan seperti sungai dan laut, polusi sampah menjadi penyebab rusaknya karang, lamun dan ekosistem secara umum.

Di udara, sampah non-orgnaik menjelma menjadi mikroploastik yang akhir-akhir ini banyak diteliti dan terbukti menjadi penyebab menurunnya kualitas udara.

“Membersihkan” yang dalam prosesnya hanya merelokasi sampah dari satu titik ke titik lain, sebenarnya hanya memindahkan masalah dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

Bahkan, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang menjadi titik akhir sampah-sampah yang kita hasilkan, sama sekali bukan solusi.

TPA tanpa pengelolaan adalah sumber segala masalah yang lebih besar dari sekedar masalah estetika (kebersihan).

TPA yang dibangun dengan sistem open dumping (sampah dibuang bercampur antara sampah organik dan non-organik ke alam terbuka), adalah salah satu penyebab emisi akibat gas metana yang dihasilkan.

Ketika kita berbicara masalah pemanasan global dan perubahan iklim yang dampaknya terus kita rasakan hingga hari ini, TPA adalah salah satu sumber pemicunya.

Bencana alam seperti banjir, badai, tanah longsor, abrasi dan kekeringan dengan intensitas yang terus meingkat, adalah bukti nyata dari perubahan iklim.

Dan sayangnya, pemangku kepentingan yang ada masih menjadikan TPA sebagai solusi utama lalu abai pada pendekatan yang lain.

Perlu diingat, pemerintah pusat akan segera menutup seluruh TPA open dumping mulai tahun ini.

Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup tersebut telah disetujui oleh presiden untuk dituangkan pada regulasi bersifat formal dan mengikat.

Artinya, pemerintah di level daerah sudah harus siap dengan kebijakan baru dalam hal tata kelola sampah.

Sebenarnya, hirarki penyelesaian masalah sampah sudah sangat jelas menyebut reduce, reuse dan recycle secara berurutan sesuai skala prioritasnya.

Reduce (mengurangi) dan reuse (menggunakan kembali) menitikberatkan pada perilaku individu.

Perilaku dimaksud, seperti kebiasaan membawa kantong belanja sendiri dan menggunakan tumbler untuk menggantikan konsumsi air mineral yang akan berujung pada meningkatnya volume sampah plastik.

Dorongan reduce juga meliputi komitmen individu menggunakan material ramah lingkungan seperti sikat gigi dari bambu, sedotan dari stainless, Dll.

Oleh pemerintah, dorongan reduce harus disertai dengan aturan yang ketat dan mengikat semua komponen (individu, retail, pengelola pasar hingga cafe dan restoran yang menjual dengan sistem takeaway).

Dukungan pelaku usaha juga penting dalam upaya mereduski volume sampah. Semisal event organizer (EO), harus diatur untuk menyelenggarakan kegiatan dengan konsep zero waste, pun pegiat perjalanan dan pengelola objek wisata, serta dunia usaha lainnya.

Kelompok masyarakat, komunitas dan organisasi semacam PKK, Karang Taruna, dan Dharma Wanita, harus didorong untuk menciptakan kesadaran perilaku reduce dan reuse secara kolektif di masyarakat.

Secara paralel, dalam konteks Kepulauan Selayar, unit pengelolaan sampah harus tersedia dengan jumlah yang representatif.

Bank Sampah yang berpusat di kota saja, tidak akan cukup menanggung beban jumlah sampah dari berbagai tempat, selain tentu persoalan alur distribusi sampah yang pasti membutuhkan biaya.

Recycle (daur ulang) dapat dilakukan melalui Bank Sampah Unit di tiap desa dan kelurahan dengan memanfaatkan keberadaan Badan Uaha Milik Desa (BUMDes).

Terkait program dan penganggaran BUMDes untuk Bank Sampah, Pemkab bisa mengintervensi melalui kebijakan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD).

Jika perlu, unit-unit terkecil seperti sekolah, perumahan dan kantor-kantor, didorong untuk memiliki pengelolaan sampah sendiri.

Sistem yang mengintegrasikan antara aspek kesadaran, infrastruktur dan pengelolaan sampah melalui Bank Sampah dan TPS3R, akan menjadi solusi mengurangi beban atau overload di TPA.

Material yang dikirim ke TPA nantinya sisa residu (sampah yang tidak dapat diolah melalui proses seperti pemadatan, pengomposan dan daur ulang).

Ujung dari semua ini adalah political will, apakah masalah sampah dilihat sebagai isu arus utama (mainstream) atau cukup disentuh dengan kebijakan-kebijakan bersifat normatif yang tidak menyentuh substansi persoalan.

Pilihan kita akan menentukan seperti apa potret lingkungan dan bumi tempat kita berpijak di masa depan.

Suku Indian Amerika punya ucapan bijak, “Kita bukan mewarisi Bumi ini dari nenek moyang kita; kita meminjamnya dari anak-cucu kita.”

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp-Image-2024-01-11-at-07.35.08