Anak Muda Ingin Indonesia Lebih Demokratis

admin
Jumlah pemilih muda mencapai 60% dari total pemilih sehingga akan menentukan kemenangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.  (Foto: Istimewa)
Jumlah pemilih muda mencapai 60% dari total pemilih sehingga akan menentukan kemenangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. (Foto: Istimewa)

JAKARTA- Quarta.id– Praktik demokrasi saat ini dinilai memiliki banyak kelemahan sehingga menciptakan ketidakpuasan di kalangan anak muda.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam upaya mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis.

Satu alasan anak muda tidak puas dengan demokrasi adalah berkurangnya kebebasan sipil di Tanah Air. Hal yang paling dirasakan anak muda adalah tidak bebasnya masyarakat menyampaikan kritik kepada pemerintah.

BACA JUGA:

Pandangan anak muda tersebut terungkap melalui hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Survei yang dilakukan pada Agustus 2022 dan dirilis pada akhir September 2022 menunjukkan, 43,9%  anak muda mengaku tidak bebas menyampaikan kritik kepada pemerintah.

Sisanya, yang menyatakan bebas mengkritik pemerintah sebanyak 54,3% dan 1,8% tidak menjawab atau menyatakan tidak tahu.

Menurunnya kebebasan sipil ditengarai jadi faktor yang membuat sepertiga anak muda (35,9%) mengaku tidak puas dengan demokrasi Indonesia saat ini. Yang menyatakan puas dengan demokrasi 62%, sedangkan yang tidak jawab atau tidak tahu 2,1%.

Dalam pandangan anak muda, ruang yang nyaman untuk menyampaikan kritik memang tidak tersedia saat ini.  Tak jarang muncul ketakutan kritik yang disampaikan akan berurusan dengan hukum karena dianggap melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaski Elektronik (UU ITE).

BACA JUGA: 

Hal ini disampaikan oleh aktivis pemuda Remy Hastian dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ahmad Syauqy.

Remy mengatakan, generasi muda yang seharusnya bisa berkreasi, berinovasi, dan ikut memikirkan masa depan bangsa negara, tidak jarang malah ketakutan sebelum melakukan sesuatu.

“Pandangan dan kritik jadi sulit disampaikan karena pemerintah tidak membuat ruang nyaman,”  ujar mantan Koordinator Pusat Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) saat dihubungi kemarin.

Dalam sistuasi seperti itu dia menilai krisis kepercayaan terhadap demokrasi akan sangat terasa karena rasa ketakutan hadir di tengah anak muda. Dia lalu mengingat

jargon yang disampaikan Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu saat berkampanye politik untuk menjadi bagian dari masyarakat.

Dia menyebut, memang bukanlah Presiden Jokowi yang selama ini menolak kritik, namun pelaksana kebijakan  di bawahnya yang seringkali bertindak represif saat menghadapi kritik.

Dia berharap Presiden sebagai pemimpin tertinggi mampu menginstruksikan kepada bawahannya untuk juga tidak antikritik.  Dijelaskan, sebagai pemimpin, jika dapat merangkum banyak pendapat masyarakat, hal itu bisa menjadi sebuah kebijakan yang dampaknya akan dirasakan seluruh rakyat.

Remy berharap melalui momentum politik Pemilu 2024 akan menghadirkan perbaikan. Di satu sisi anak muda perlu melek politik bahkan ikut serta dalam kontestasi demi ikut melahirkan perubahan.

Di sisi lain para calon presiden (capres) dan partai politik diharapkan mampu membangun semangat dan suasana perpolitikan yang lebih ramah kepada anak muda. Mereka diharapkan dapat merangkul anak muda dan mendengarkan suara dan aspirasinya.

“Kita ingin anak muda tidak lagi takut untuk mengungkapkan pendapatnya, kritiknya, di mana pun termasuk di media sosial sebagai tempat mereka untuk berekspresi,” tandasnya.

Survei CSIS

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ,  Arya Fernandes mengatakan, ada sejumlah faktor yang menyebebakan dukungan anak muda kepada demokrasi menurun.

Pertama, persepsi atas situasi korupsi di Indonesia yang dinilai tinggi. Kedua, indikasi kebebasan sipil yang publik merasa tidak sepenuhnya bebas menyampaikan kritik. Ketiga, dipengaruhi rendahnya kepercayaan pada lembaga penegak hukum dan lembaga perwakilan.

Khusus kebebasan sipil, anak muda sangat menaruh perhatian pada berkurangnya kebebasan dalam menyampaikan kritik kepada penguasa. Survei ini menemukan 43,9%  anak muda mengaku tidak bebas  mengkritik pemerintah. “Indikator kebebasan bagi mereka itu sangat penting,” kata Arya.

Anak muda juga mengaku merasakan ketidakbebasan dalam menyampaikan pendapat di muka umum, meskipun angkanya hanya 27,2%. Sedangkan yang menyatakan bebas berpendapat sebanyak 71,1%.  Terhadap kebebasan pers di Indonesia, sebanyak 25,9  menyatakan tidak bebas, dan 71,1% yang menilai pers Indonesia bebas.

Dalam survei tersebut anak muda juga menunjukkan komitmen tinggi pada demokrasi dan konstitusi. Terbukti, anak muda menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden hingga lebih dua periode. Sebanyak 86,2% responden menyatakan masa jabatan presiden harus tetap 10 tahun.

Mereka yang setuju perpanjangan masa jabatan presiden lebih 10 tahun hanya disuarakan 12,3% responden. Selain itu, 97,2% anak muda juga mendukung pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung.

“Mereka punya komitmen yang tinggi pada demokrasi, komitmen konstitusional, itu dibuktikan dengan dukungan pada masa jabatan presiden yang cukup dua periode saja,” jelas Arya.

Survei CSIS juga menanyakan pandangan anak muda terhadap calon pemimpin nasional pada Pilpres 2024 mendatang.

Dalam hal karakter kepemimpinan, anak muda paling menginginkan pemimpin yang jujur atau tidak korupsi (34,8%), lalu merakyat dan sederhana (15,9%), dan punya ketegasan dan berwibawa (12,4%).

Arya memaparkan, karakter pemimpin yang paling diinginkan anak muda saat ini beda dengan dua pemilu sebelumnya. Saat itu, anak muda paling ingin calon pemimpin yang gayanya sederhana dan merakyat.

“Dulu yang suka pemimpin antikorupsi angkanya hanya di bawah 15%,  anak muda lebih suka yang sederhana dan merakyat, mencapai 30%. Sekarang kebalikannya,” jelasnya.

Hal lain yang membedakan anak muda saat ini dengan pemilu sebelumnya dalam hal isu. Anak muda memiliki perhatian pada isu baru, misalnya kesehatan, lingkungan terutama pemanasan global, ketenagakerjaan dan isu demokratisasi serta pemberantsan korupsi.

Partai politik dan kandidat calon presiden tidak boleh memandang remeh persepsi anak muda tersebut. Apalagi, jika melihat jumlah pemilih, anak muda yang berusia 17-39 tahun pada pemilu mendatang bisa mencapai 60% dari total pemilih yang diperkirakan 190 juta.

Anak muda memiliki suara signifikan untuk menentukan hasil pemilu legiuslatif maupun pilpres. Arya memperkirakan total pemilih muda mencapai 114 juta. Mereka itu menjadikan media sosial sebagai sumber utama informasi (59%), jauh di atas media televisi (32%).

Dengan jumlah yang besar dan melek informasi karena jadi pengguna media sosial yang aktif, Arya menilai anak muda memiliki posisi yang strategis di pemilu mendatang. Hal ini penting dipahami oleh kontestan dalam upaya meraih dukunganb anak muda.

“Pemilih muda bukan angka yang main-main, dengan situasi anak muda seperti itu, maka ke depan capres harus kampanye kebijakan, konkretnya dia harus bicara isu-isu yang digemari anak muda, isu kesehatan lingkungan, tenagakerjaan, demokrasi dan pemberantasan korupsi,” tandasnya.

Indeks Demokrasi Indonesia

Isu demokratisasi memang masih jadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. Pada 2020, skor Indonesia pada indeks demokrasi global berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) menyentuh angka terendah, yakni 6,30 dan ada di peringkat 64 dari 167 negara. Skor Indonesia membaik pada 2021.

Indeks demokrasi Indonesia yang diumumkan EIU pada Februari 2022 lalu menunjukkan perbaikan skor menjadi 6,71. Peringkat Indonesia juga naik ke urutan 54 dari 167 negara. Namun skor itu belum mampu menghapus fakta bahwa Indonesia masih menjadi negara dengan kategori flawed democracy atau demokrasi cacat.

Ketua BEM UNJ, Ahmad Syauqy, menilai survei CSIS soal ketidak puasan anak muda terhadap demokrasi, dan indeks demokrasi Indonesia versi EIU adalah hal yang memang tampak dan bisa dirasakan. Dia menyatakan kualitas demokrasi di Indonesia memang masih perlu terus diperbaiki.

Dalam pandangannya, Indonesia yang menganut sistem demokrasi seharusnya lebih terbuka terhadap kritik dari masyarakat. Tidak sebaliknya, pemerintahan dianggap lebih berpihak pada korporasi dan oligarki sehingga kesejahteraan rakyat belum terwujud.

“Pemerintah hari ini terkesan antikritik dalam menanggapi pandangan masyarakat. Ketidakadilan hukum bagi rakyat kecil juga masih benar-benar terjadi,” ungkap Syauqy saat dihubungi kemarin.

Pemerintah Terus Bangun Demokrasi

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodawardhani menyatakan pemerintah mengapresiasi terhadap berbagai bentuk penilaian seperti hasil survei, kritik pakar, studi akademik maupun riset lainnya tentang praktik demokrasi di Indonesia.

Hal itu dipandang baik guna menyempurnakan penerapan sistem demokrasi yang telah berjalan. Hal itu akan mendorong pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan.

“Kita telah memilih jalan demokrasi untuk mengelola kekuasaan. Pemerintah tidak akan  memunggungi pilihan itu. Pemerintah sangat berkomitmen untuk terus membangun demokrasi. Tidak perlu diragukan tentang hal itu,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Dia mengakui Indonesia dihadapkan pada tata kelola demokrasi yang tidak mudah. Selain itu, pembangunan juga dihadapkan pada kebijakan mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, demokrasi dan stabilitas, otonomi nasional dan kerja sama global.

“Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, demokrasi Indonesia saat ini terus berprogres menuju arah yang lebih baik,” ujarnya.

Dia mengutip capaian demokrasi Indonesia yang membaik sesuai laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dirilis pada 2022. Menurutnya, di tengah-tengah semua dinamika dan krisis demokrasi global, Indonesia termasuk dalam negara dengan peningkatan demokrasi terbesar di kawasan Asia.

Menempati peringkat global 52 dan peringkat ke-9 di kawasan Asia, dengan skor keseluruhan 6,71 dari sebelumnya 6,30 pada 2020.

Dia menambahkan, membangun demokrasi merupakan kerja kolektif yang tidak bertumpu pada salah satu aktor saja. Kontribusi peningkatan dan penurunan kinerja demokrasi dapat bersumber dari pemegang otoritas dan dari masyarakat.

“Kebebasan berpendapat misalnya, juga dapat tereduksi sebagai akibat antarkelompok masyarakat saling berusaha memaksakan kehendak, menebar kebencian dan provokasi yang mengancam persatuan,” paparnya.

Dia menuturkan, sejumlah upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas demokrasi bangsa terus dilakukan. Di antaranya, berkomitmen melakukan revisi UU ITE untuk memperkecil ruang multitafsir. Pada akhir 2021, Presiden Jokowi diakui telah mengirim surat ke DPR dan saat ini pembahasannya masih dalam proses.

Komitmen Indonesia terhadap demokrasi juga telah ditunjukkan dalam berbagai forum internasional. Misalnya, melalui Bali Democracy Forum (BDF) 2021. Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan Indonesia terus mendorong kemajuan demokrasi di kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN.

Dalam bentuk konkret, Indonesia memotori pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. Indonesia juga menjadi inisiator dari pelaksanaan ASEAN Human Rights Dialogue, sejenis Universal Periodic Review (UPR) di ASEAN.

Berdasarkan hal itu, Dhani berharap publik tak perlu meragukan komitmen pemerintah dalam menjunjung dan menegakkan asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depannya.

Ikuti Kami :
Posted in

BERITA LAINNYA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp-Image-2024-01-11-at-07.35.08