Ahmad Riadi
SELAYAR, Quarta.id- Cerita pilu bencana di Pulau Sumatera berseliwerang di beranda media sosial dan berbagai kanal informasi yang tersedia, mengusik nurani dan mengirimkan alarm untuk menjadi pengingat, betapa alam bisa tiba-tiba menjadi tak bersahabat.
Adalah siklon senyar yang disebut menjadi pemicu hujan berkepanjangan dan kemudian berakibat banjir hebat di tiga wilayah di Sumatra (Aceh, Sumut dan Sumbar).
Meski demikian, berbagai kajian menyebut, siklon senyar, sejatinya tak menjadi penyebab tunggal.
BACA JUGA: Kota Benteng Dipasangi Peta Evakuasi Tsunami, BMKG: Peluang Tsunami Ada, Harus Tetap Waspada!
Eskalasi bencana hidrometeorologi yang hingga Selasa (6/12/2025), menelan jumlah korban meninggal sebanyak mencapai 962 jiwa itu (Data BNPB), juga dipengaruhi oleh faktor lain yang menjadi pemicu
Menurunnya kualitas lingkungan dan lemahnya mitigasi, tak hanya berakibat pada korban meninggal, tetapi juga menyebabkan 291 belum ditemukan hingga Selasa (9/12/2025). Belum lagi korban luka yang mencapai angka 5000 jiwa.
Jauh dari hingar bingar pemberitaan media, nun jauh di ujung Selatan Pulau Sulawwesi, di salah satu desa di Pulau Selayar, dua wilayah perkampungan diterjang banjir bandang.
Ratusan KK di dua dusun, masing-masing Lebo dan Turungan nyaris tak dapat beraktivitas akibat air yang menggenangi lokasi tempat mereka bermukim.
Kejadian di Desa Laiyolo tersebut, bukan kali pertama. Bertahun-tahun derah di Kecamatan Bontosikuyu ini melewati peristiwa yang sama.
“Dalam beberapa tahun terakhir, dua kampung di desa kami menjadi langganan banjir bandang,” ucap Bakhrul Arfandi, Kepala Desa Laiyolo kepada Quarta.id, Senin (8/12/2025).
BACA JUGA: Tiga Titik pada Jalan Poros Benteng-Pamatata Ini Alami Abrasi Parah, Pengguna Jalan Diminta Waspada
Sementara itu, hujan sepanjang malam yang berlangsung sejak Rabu (25/6/2025) hingga pagi, Kamis (26/6/2025) lalu, menyebabkan terjadinya banjir bandang pada wilayah Kelurahan Batangmata, Kecamatan Bontomatene.
Dua titik yang terkena imbas banjir bandang ini, masing-masing Lingkungan Bonto-Bonto dan Bonto Tangnga.
Lurah Batangmata kala itu, Muh. Taufiq yang dikonfrimasi Quarta.id pada Kamis (26/6/2025) menyebut 130 KK terdampak dari peristiwa dimaksud.
“Titik (ketinggian air) yang paling parah sekitar 1,3 meter,” lanjut Muh. Taufiq.
BACA JUGA: Kota Benteng Dipasangi Peta Evakuasi Tsunami, BMKG: Peluang Tsunami Ada, Harus Tetap Waspada!
Rangkaian peristiwa dari Pulau Sumatra, hingga ke perkampungan di Pulau Selayar, menjadi sinyal akan lingkungan yang semakin tak ramah.
Sikluas alamiah kerap menjadi kambing hitam. Namun, pendapat dari Akdemisi Muhammad Hakiem Sedo Putra yang disampikan kepada Quarta.id, dapat menjadi perpektif baru untuk seluruh pemangku kebijakan.
Merujuk pada bencana yang terjadi di Sumatra, Dosen pada Program Studi Rekayasa Tata Kelola Air Terpadu, Institut Teknologi Sumatera (ITERA) menyampaikan fenomen, dimana “tangan manusia” turut andi memperparah ekskalasi benacana.
“Ketika permukaan tanah jenuh, air langsung mengalir deras kekawasan hilir dan memicu banjir bandang. Situasi ini diperparah oleh keterbatasan infrastruktur mitigasi, seperti peringatan dini yang tidak optimal, jalur evakuasi yang belum tertata, dan respon cepat yang seringkali terhambat oleh cuaca serta kondisi geografis,” ucapnya.
Bencana yang terjadi di Sumatra,menurut Hakiem seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh daerah di Indonesia. Dengan pola cuaca yang semakin sulit diprediksi dan frekuensi hujan ekstrem yang meningkat akibat perubahan iklim, risiko bencana hidrometeorologi tidak lagi terbatas pada wilayah tertentu.
“Setiap provinsi—dari Aceh hingga Papua—memiliki potensi yang sama jika tidak melakukan langkah mitigasi yang serius,” imbuh Hakiem